Saturday 16 April 2016

Cyber Law

Hukum Siber (Cyber Law) adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu  Di internet hukum itu adalah cyber law, hukum yang khusus berlaku di dunia cyber. Secara luas cyber law bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku e-commerce, e-learning; pemegang hak cipta, rahasia dagang, paten, e-signature; dan masih banyak lagi.

Contoh kasus

Membaca berita di media elektronik tentang delik ‘pencemaran nama baik’ yang dilakukan di dalam dunia siber yang dilaporkan oleh Denny Indrayana kepada Tri Dianto dan Ma’mun Murod (dapat dibaca selengkapnya di http://news.detik.com/read/2014/01/10/134115/2463967/10/fokus-ke-kasus-anas-mamun-dan-tri-dianto-enggan-tanggapi-laporan-wamen-denny?nd772204btr). Di dalam peberitaan ini bahwa Ma’mun Murod dan Tri Dianto dilaporkan atas pasal 310 KUH Pidana (tentang pencemaran nama baik), pasal 335 KUH Pidana (tentang perbuatan tidak menyenangkan) dan pasal 51 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik (tentang sanksi pidana atas perbuatan manipulasi dokumen elektronik dianggap seolah-olah data yang otentik). Apabila diamati secara seksama, kasus ini merupakan kasus kedua setelah presenter Olga Saputra dilaporkan dengan perbuatan ‘pencemaran nama baik’ (dapat dibaca selengkapnya di http://www.beritasatu.com/hiburan/127420-olga-syahputra-diduga-cemarkan-nama-baik-polisi-panggil-saksi-ahli.html).

Kedua kasus di atas secara umum adalah sama tentang ‘pencemaran nama baik’ hanya saja yang menarik adalah pelapor menyandarkan laporannya pada Undang-undang Transaksi Elektronik (UU-ITE). Padahal apabila diamati kedua kasus di atas, terlapor melakukan perbuatannya bukan pada media Internet, tetapi dalam tayangan televisi. Pertanyaan yang timbul adalah apakah jangkauan UU-ITE tentang pencemaran nama baik dapat menggapai perbuatan yang di lakukan di media televisi? Mengingat tentang pencemaran nama baik dalam media televise dapat dikenakan pasal 36 ayat (5) , yaitu isi siaran dilarang:  (a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; (b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau (c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Dengan ancaman pidana 5 tahun penjaran dan denda 10 Miliar rupiah diatur pada pasal 57 Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Kedua kasus di atas mengingatkan kita pada kasus Prita Mulyasari vs. Rumah Sakit Omni Internasional yang pada tahun 2009. Hal yang peril digarisbawahi adalah, adanya kecenderungan laporan dengan menggunakan UU-ITE maka hukumannya lebih berat dibandingkan dengan menggunakan undang-undang lain. Yang menjadi masalah adalah bagaimana batasan pencemaran nama baik dari UU-ITE? Dan bagaimana dengan asas hukum lex specialist legi generalis? 

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian singkat di atas, bahwa kajian tentang hukum siber di Indonesia menjadi penting. Karena saat ini aturan hukum tentang siber hanya diatur secara spesifik dalam UU-ITE. Sesuai dengan namanya, secara penamaan UU-ITE (informasi dan transaksi elektronik) sepertinya tidak diperuntukan untuk mengatur seluruh aspek  dalam hukum siber yang begitu luas. Kiranya beberapa kasus yang sudah terjadi dapat menjadi motor di kalangan sarjana hukum Indonesia untuk lebih mendalami kajian tentang hukum siber.

 

 
 

No comments:

Post a Comment